She also talked about Southeast Asian contemporary art scene.
Hingga kini, keterhubungan antara human consciousness dan virtual/simulated reality masih sebatas fantasi yang mengasyikkan – well if we think a bit more radical, it is not impossible that indeed we are already living in a simulated world without realizing it. Meskipun demikian, perkembangan dunia digital tetap terbilang begitu luar biasa dengan segala inovasi-inovasi baru yang membuat manusia semakin dekat dengan realitas virtual.
Galuh Sukardi, Director of David Zwirner Hong Kong sekaligus penggemar novel “Ready Player One” karya Ernest Cline yang berkisah seputar dunia simulasi, menyatakan kekagumannya seputar NFT art kepada The Editors Club melalui sebuah interview beberapa waktu lalu, selain juga menjelaskan langkah digital yang telah diambil David Zwirner dan memaparkan pandangannya tentang potensi seni konteporer Asia Tenggara.

David Zwirner Hong Kong.
Art Works in Digital Era
“It’s incredible to be witnessing the world of NFT in my lifetime. It’s a whole other realm,” ucapnya. Sedikit background info untuk Anda yang belum familiar dengan ‘bayi” baru dunia seni ini, karya seni NFT (non-fungible tokens yang berarti token yang tak dapat dipertukarkan) adalah suatu artwork berwujud file digital unik yang tersertifikasi dan tersimpan pada arsip digital blockchain. Sebagaimana digital file lain, karya seni NFT bisa dengan mudah disalin dan diunduh, namun ownership atas original file tersebut hanya dimiliki oleh sang pembeli (sementara copyright bisa tetap dipegang seniman). Jika diibaratkan, ini sama halnya ketika siapapun bisa saja mendapatkan jiplakan lukisan “Mona Lisa” Leonardo da Vinci tapi lukisan aslinya hanya dimiliki oleh satu pihak.
Teknologi blockchain serta cryptocurrency memang telah menjadi realita tersendiri dengan aturan main dan cara main yang berbeda serta mengejutkan. Pada Maret lalu, karya seni kolase digital berjudul “Everdays – The First 5000 Days” ciptaan Mike Winkelmann atau dikenal sebagai Beeple terjual di balai lelang Christie’s sebesar 69 juta US dollar. Jika Anda juga enthusiastically curious tentang karya seni NFT, Galuh merekomendasikan “Dialogues: The David Zwirner Podcast” – yang belum lama ini ia dengarkan – dimana seniman Jordan Wolfson dan Beeple mendiskusikan relasi antara dunia seperti galeri dan museum dan komunitas seniman digital.
Tentu ada banyak hal yang masih perlu dieksplorasi dari wilayah cryptoart. Terkait relasi karya NFT dan pekerjaannya, ia menyatakan “it’s certainly exciting and requires vision to mint an NFT.” Untuk saat ini, urgensi atas digital platform yang lebih mendasar ialah bagaimana teknologi mampu memfasilitasi keterhubungan karya seni physical dan penikmatnya yang instan terputus akibat pandemi Covid-19, dan sudah pasti berdampak pada angka penjualan karya seni. Berdasar data The Art Basel and UBS Global Art Market Report edisi ke-5, penjualan global karya seni dan benda antik pada tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 22% dibanding tahun 2019. Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan dibatalkannya 61% penyelenggaraan art fairs yang tentu menjadi salah satu faktor penyebab penurunan angka sales.

“The Real World” exhibition at David Zwirner Hong Kong.
Seberkas kelegaan terlihat dari data penjualan online tahun 2020 yang melonjak dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Artinya, platform penjualan secara digital itu memang dipertimbangkan oleh sebagian penikmat seni dalam melakukan pembelian. Per 2020, angka online sales karya seni dan benda antik merepresentasikan 25% dari total market’s value; sebuah peningkatan drastis dari tahun 2019 yang hanya 9%. Strategi online viewing dan sales memang menjadi opsi praktikal dalam merespon pandemi. Akan tetapi, sebagaimana dipaparkan Galuh, galeri David Zwirner bahkan telah merilis inisiatif online jauh sebelum situasi seperti sekarang terjadi. Galeri prestisius yang tersebar di New York, London, Paris, dan Hong Kong ini menciptakan online platform bukan karena tuntutan keadaan melainkan sebagai sebuah visi progresif tentang cara seni diakses oleh masyarakat global.
Online viewing room galeri ini (kemudian dikenal sebagai David Zwirner Online) sudah hadir di situsnya sejak tahun 2017 dengan tujuan mempresentasikan hasil karya para seniman di bawah naungannya kepada audiens global. “Over the past four years, David Zwirner has established itself as an industry leader in the online art space,” ujarnya. Pada tahun 2020, David Zwirner Online menampilkan 40 eksibisi khusus online. Galeri ini menyelenggarakan acara online berjudul “Program” pada 10 Juni lalu, yakni sebuah global live streaming di situsnya yang berisi karya-karya terkurasi, diskusi bersama seniman dan gallerist, hingga live video walkthrough. Sebelumnya pada bulan Mei, David Zwirner meluncurkan click-to-buy market place “Platform”. Art pieces yang ditawarkan di situs tersebut datang dari berbagai galeri di seluruh dunia. Berbeda dengan situs penjualan karya seni lain yang biasanya hanya meyediakan button “Inquire”, Platform hadir dengan button “Buy”.
“Art is about an experience with the artwork and shared experiences with the community.”
Lantas pertanyaannya adalah: jika pandemi masih terus berlangsung dan restriksi berbagai hal terus dilakukan, apakah angka penjualan online karya seni akan meningkat dan berkontribusi signifikan pada total pemasukan galeri seni? Ada banyak hal yang menentukan jawabannya. Akan tetapi dari sisi experience, Galuh menegaskan bahwa pengalaman fisik dalam penikmatan seni tetap penting. Ia mengatakan “We are digitally upgraded! There is a real demand in the art world for e-commerce. However, brick and mortar is still crucial. Art is about an experience with the artwork and shared experiences with the community.” Eksibisi yang akan segera berlangsung di David Zwirner Hong Kong secara physical pada September mendatang adalah seri lukisan “Hong Kong Dominoes” karya seniman Amerika, Sherrie Levine.
South-east Asian Art in the Global Stage
To say Galuh has a strong passion towards art seems like an understatement. For her art is “a blessing and a curse! Passion. Obsession.” Putri ke-3 pasangan Laksamana Sukardi dan Rethy Sukardi ini tumbuh dikeluarga yang ia juluki “secret antiquarians”, yang gemar mempelajari benda-benda antik bersejarah.
Semasa kecil, orangtuanya sudah bercerita tentang era Majapahit dan alasan mereka suka dengan artefak-artefak kerajaan kuno di Nusantara tersebut. Tenun tradisional Nusa Tenggara Timur, Chinese porcelain, benda-benda antik Afrika adalah bagian dari koleksi awal keluarganya sebelum mulai mengoleksi karya-karya seni modern dan kontemporer. “Being raised with parents like Rethy and Laksamana, we were invited to seek adventure, curiosity and no ball games inside the house!” kisah Galuh. Menekuni pekerjaan pertamanya selama 5 tahun di Sotheby’s Asia divisi Specialist Department of Modern and Contemporary Southeast Asian Art, sosok yang dulunya bercita-cita menjadi fotografer perang seperti James Nachtwey ini – namun urung lantaran terlalu sulit secara emosional – memulai karirnya sebagai gallerist di White Cube. Kala itu, ia ditugaskan untuk melebarkan presence galeri tersebut di Asia tenggara.

An artwork by Luc Tuymans.
Salah satu project yang ia lakukan untuk galeri milik Jay Jopling tersebut adalah menyelenggarakan solo exhibition Christine Ay Tjoe bertajuk “Black, kcalB, Black, kcalB” di White Cube Bermondsey, London, pada tahun 2018. Kini bekerja untuk galeri David Zwirner Hong Kong milik art dealer bernama sama, pecinta lukisan berjudul “Nordamerika” (1982) karya Martin Kippenberger ini melihat bahwa galeri tersebut selain memiliki pendekatan inovatif serta sophisticated, juga mempunyai spirit dan komitmen untuk merawat karir seniman-senimannya dalam jangka panjang. Salah satu contohnya adalah acclaimed Belgian artist, Luc Tuymans, yang merupakan salah satu seniman-seniman pertama di bawah naungan David Zwirner; bergabung dengan galeri tersebut sejak tahun 1994.
“At David Zwirner Hong Kong we are looking to grow our extensive network and experience in the region,” jelas Galuh mengenai visi galeri tersebut. Bicara mengenai seni di wilayah Asia, perempuan yang tumbuh dengan karya-karya fotografi Nobuyoshi Araki, Renate Bertlmann, dan Wolfgang Tillmans di rumahnya ini mengatakan bahwa Asia Tenggara memiliki potensi menjadi salah satu most exciting regions untuk seni kontemporer seiring bertumbuhnya museum-museum dan generasi baru kolektor muda yang tertarik pada seni kontemporer. Ia pun menyebutkan bahwa berbagai ajang seni kontemporer di Asia Tenggara sebagai wujud perspektif global terhadap seni kontemporer di wilayah tersebut. Contoh yang ia berikan mencakup pameran “Minimalism: Space. Light. Object” di National Gallery Singapore serta “ We Move Amongst Ghosts” di Kayu Lucie Fontaine Bali juga Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.
Di mata seorang yang gemar memotret hal-hal unusual ini, penyelenggaraan Asia Society Triennial di New York sejak tahun lalu serta terpilihnya ruangrupa sebagai Artistic Director dari pameran seni kontemporer Documenta 15 di Kassel, Jerman, pada tahun 2022 mendatang juga merupakan manifestasi minat global pada dunia seni wilayah Asia Tenggara maupun secara umum pada Asia. “There are incredible artists from Southeast Asia making work in and outside of Southeast Asia and institutions that support the artists. There is International recognition for artists from the region, but more needs to be done to support the arts at home,” ucap Galuh.
Mengenai jalan bagi seniman untuk mencapai kesuksesan, gallerist yang sudah pernah bekerja dengan naman-nama hebat seni kontemporer seperti Yayoi Kusama, Ruth Asawa, Andra Ursuţa, Rirkrit Tiravanija, hingga Kerry James Marshall dan Francis Alÿs ini mengatakan bahwa untuk mendapat rekognisi dan memiliki karir yang panjang, seorang seniman perlu membuat karya hebat serta memiliki support system yang mengakomodasi minatnya. “It’s important to work for a gallery that has the artist’s needs in mind and the vehicle to provide this,” tegasnya. Di atas segalanya, ia percaya bahwa “great art will always rise to the top”.
*) Galuh Sukardi photos are lensed by Hakim Satriyo.