Savoir-faire, craftsmanship, imagination, and beyond.
Do you still remember the scene of Rose exited from a classical car to board the Titanic? Saat pintu mobil dibuka, sebuah tangan berbalut delicate white glove menjulur untuk disambut. Sosok itu melangkah keluar dengan sepatu dan payung warna gelap nan padu harmoni dengan well-fitted coat berpalet dasar putih corak stripes hitam. Ketika gerak kepalanya menengadah untuk melihat sang kapal, rona wajahnya pun terungkap dari balik topi berukuran besar dengan hiasan pita berukuran ekstra yang dikenakan secara asimetri. Definitely the splendor of 1900’s luxury. Sementara Cal membanggakan the unsinkable ship kepada Rose tunangannya yang terlihat unimpressed, seorang petugas menyela untuk mengatakan, “ Sir. Sir, you have to check your baggage to the main terminal.” Cal memberi uang kepadanya untuk mengurus hal tersebut. Ada banyak barang bawaan mereka, yang tersimpan dalam tumpukan-tumpukan trunks di beberapa mobil.
Travel, transportation, dan trunk adalah 3 hal yang saling terjalin dalam realita masyarakat saat itu. Kala Titanic berlayar dari Southampton menuju New York dan membawa banyak orang beserta trunk mereka pada tahun 1912, brand Louis Vuitton sudah mapan sebagai trunk maker selama hampir 60 tahun sejak berdiri pada tahun 1854. Pada tahun berlayarnya Titanic tersebut, Georges Vuitton – anak dari Louis Vuitton – mengakuisisi sebuah gedung di Champs-Élysées yang beberapa lama selanjutnya menjadi store terbesar Louis Vuitton era itu. Cerita sukses perusahaan asal Prancis yang bermula sebagai produsen trunk ini memang tak bisa dilepaskan dari atmosfer peradaban abad 19 dan 20 yang mengalami perkembangan pesat ilmu pengetahuan sehingga berdampak revolusioner pada industri, telekomunikasi, dan transportasi. Jalan-jalan terus bertumbuh sebagaimana rel kereta dan pemanfaatan steamship.
Kemajuan di bidang-bidang itu mendorong laju aktivitas perjalanan jarak jauh, baik untuk kepentingan personal, urusan perdagangan antar perusahaan beda negara, hingga perpolitikan internasional. Inilah masa di mana bed-time stories anak-anak ialah sastra fiksional yang mengekplorasi kisah-kisah ekspedisi, seperti “The Jungle Book” (1894) dan “Around the World in Eighty Days” (1873) dimana karakter Phileas Fogg justru memutuskan untuk tak membawa trunk dalam petualangannya. Akan tetapi jelas dibutuhkan lebih sekadar timing yang tepat bagi Louis Vuitton – maupun perusahaan manapun – untuk bisa meraih kesuksesan fenomenal berskala global. Here we dive into the beginning day of the house’s glory and what the glorious trunks they offers up to this day.
Louis and His Luggage
The luxury image of Louis Vuitton as known now has its root in a such humble beginning. Keputusan Vuitton untuk meninggalkan tanah kelahirannya di Anchay untuk pergi ke Paris pada usia sangat muda mungkin merupakan langkah terbaik yang pernah ia ambil dalam hidup (sang ibu menutup usia saat ia masih 10 tahun. Ayahnya pun meninggal tak lama setelah itu). Dengan berjalan kaki dari tempat asalnya (sambil bekerja serabutan selama perjalanan yang memakan waktu sekitar 2 tahun), Vuitton akhirnya tiba di Paris pada usia 16 tahun. Di Paris, remaja kelahiran tahun 1821 yang berlatarbelakang keluarga pengrajin dan petani tersebut bekerja untuk Monsieur Maréchal, seorang layetier emballeurs ternama di Paris yang ahli dalam bidang packing dan pembuatan kotak penyimpanan atau trunk.
Berkat keahlian yang terus diasah, ia pun memiliki reputasi sebagai craftsman handal. Pada tahun 1853, namanya semakin terangkat di kalangan elit lantaran dipilih sebagai personal trunk-maker dan packer dari Empress of France, Eugenie de Montijo, istri dari Emperor Napoleon III. Setelah 17 tahun mengenyam pengalaman kerja di Monsieur Maréchal, Vuitton yang sudah dikenal sebagai malletier berkualitas mendirikan sendiri trunk-making & packing workshop di Paris (dekat Place Vendome) pada tahun 1854. Louis Vuitton pun bukan lagi hanya merupakan nama trunk-maker dan packaging expert untuk menangani fashion collection yang hendak dibawa di perjalanan, namun menjadi ekspresi fashion itu sendiri. It’s fashionable to carry things in Louis Vuitton. Mampu membangun kredibilitas di kalangan high society tentu merupakan sebuah pencapaian, namun Vuitton tak berhenti sampai di situ. He’s special because of his innovations.
Vuitton menyadari kebutuhan bagi trunk tahan air dan ia pun memproduksi trunk berlapis canvas. Gris Trianon adalah material canvas pelapis warna abu-abu yang menjadi trademark awal dari labelnya. Pada tahun 1858, ia kembali bereksperimen dengan desain trunk untuk menambah nilai fungsionalnya. Hingga saat itu, trunk secara umum dibuat dengan bagian atas yang cembung agar air yang menetes ke atasnya cepat turun ke bawah. Karena Vuitton bisa mengatasi problem paparan air dengan lapisan canvas, ia pun memodifikasi trunk dengan desain bagian atas yang datar. Alhasil, sejumlah trunk pun bisa ditumpuk di kendaraan selama melakukan perjalanan. Bahkan sampai pada terciptanya model tutup datar ini pun, kreasi Louis Vuitton belum hadir dengan corak khasnya. Beberapa varian yang pernah muncul setelah Gris Trianon abu-abu adalah red and beige vertical-striped canvas pada tahun 1872 dan beige monochrome striped canvas pada tahun 1876.
Karena semakin banyak pembuat trunk lain yang memproduksi barang serupa, Vuitton dan anaknya mengarahkan fokus pada tampilan trunk mereka agar tetap distingtif. Motif Damier Check (kotak-kotak) pun diperkenalkan pada tahun 1888. Karena begitu gencarnya peniruan karya-karya Louis Vuitton, Pada tahun 1896 Georges Vuitton melahirkan dan mempatenkan Monogram Canvas dengan interlocking ‘L’ dan ‘V’ serta rupa bunga nan khas. Hal ini terbilang sebagai gebrakan karena saat itu umumnya trunk hanya menampilkan inisial pemiliknya dan bukan pembuatnya. Demikianlah identitas Louis Vuitton sebagaimana populer hingga saat ini pun terbentuk.
Bespoke, be personal
Karena begitu yakin dan bangga akan kualitas trunk yang dibuat, baik dari segi penggunaan bahan, tampilan desain, termasuk sistem pengunciannya, dikisahkan bahwa Georges Vuitton yang pada tahun 1886 mempatenkan lock system dari trunk produksi labelnya menantang American escape artist Harry Houdini secara terbuka melalui koran untuk melakukan aksi keluar dari kotak Louis Vuitton. Entah apa yang menjadi alasan, Houdini tak menjawab tantangan tersebut.
Bahkan bilamana pun hadir dengan kualitas sangat tinggi, sebuah trunk tak serta imun dari imbas perkembangan zaman. Ketika wajah peradaban modern semakin berkembang dimana segala sesuatu dapat diakses dengan mudah, keperluan untuk membawa barang-barang pun semakin berkurang. Perkembangan di dunia transportasi juga berkontribusi mendorong penggunaan luggage yang lebih ringkas seperti suitcase. Sebuah artikel New York Times pada tahun 1973 hadir dengan judul “Where Has the Trunk Gone? Mostly, It’s Gone to Camp” dan membahas pudarnya era trunk. Akan tetapi, meski kini pemandangan orang membawa trunk di berbagai port transportasi menjadi hal langka, bukan berarti realita trunk sudah punah. Bagi maison Louis Vuitton yang bermain di level high-end trunk, perubahan zaman yang terjadi justru semakin mendefinisikan nilai trunk yang diproduksi sebagai sebuah kemewahan eksklusif.
Trunk produksi Louis Vuitton kini bukan semata soal fungsi mendasarnya sebagai sarana pengangkut barang, melainkan sebagai satu bentuk aspirasi dan apresiasi kliennya akan high-craftsmanship dan estetika ikonis dari sebuah rumah mode bernilai kultural-historis yang bereksistensi dalam konsistensinya di ranah luxury industry selama lebih dari 165 tahun. Trunk Louis Vuitton kini merupakan objek fungsional sekaligus objek kekaguman yang bahkan tak harus menjalankan fungsinya sebagai benda traveling, namun bisa menjadi focal feature dari sebuah interior. In this regard, the clients of Louis Vuitton trunk can be seen as collectors; and nothing can pleased them more than the bespoke design for their trunks. Berbicara mengenai personalisasi desain trunk, atelier Louis Vuitton di Asnières patut disebut.
Dibuka pada tahun 1859 hanya dengan 20 pekerja, workshop Louis Vuitton di Asnières berkembang menjadi tempat para craftsmen yang kini berjumlah sekitar 200 orang dalam mendesain dan mengkreasikan special order bagi klien dari seluruh dunia hingga saat ini. Sebagian bekerja memotong kayu, yang lainnya menjahit, merakit, dan melakukan finishing. Melalui pengaplikasian ketat savoir-faire milik rumah mode prestisius tersebut (misalnya seperti aturan logo monogram tak boleh terpenggal), berbagai kreasi trunk fungsional dan mengagumkan tercipta. Beberapa di antaranya adalah bed trunk milik penjelajah Pierre Savorgnan de Brazza, library trunk pesanan penulis Ernest Hemingway, shoe trunk kepunyaan aktris Greta Garbo, painting trunk untuk pelukis Henri Matisse, Stradivarius violin trunk milik Pierre Sechiari, dan tokoh-tokoh lain mulai dari Jeanne Lanvin hingga Paul Poiret. Ragam jenis fungsi yang dinginkan untuk sebuah trunk pun beragam, seperti untuk menyimpan raket tenis, topi, silverware, cologne, hairbrushes, hingga wine.
Di zaman modern, pesanan khusus untuk hard-sided luggage terus mengalir dalam relevansi kebutuhan masa kini. Tak hanya yang lazim seperti wardrobe trunk, watch and fragrance trunk, dan cocktail trunk, tapi juga ragam gaming box, DJ deck, accessories case, doll house, Barbie trunk, teddy bears trunks, Christmas ornaments trunks, pique-nique trunk, sneakers trunk, dan sebagainya. Special Order Department Louis Vuitton dikepalai oleh Patrick-Louis Vuitton yang merupakan anggota generasi ke-5 dari keluarga Vuitton hingga akhirnya ia menutup usia pada November 2019. Beberapa proyek bespoke yang ia tangani adalah trunk untuk seniman tato Scott Campbell dan Kabuki trunk untuk aktor Kabuki Ichikawa Ebizo XI. Legasi Patrick-Louis Vuitton kini diturunkan kepada kedua anaknya, Pierre-Louis dan Benoît-Louis, yang juga bekerja untuk Louis Vuitton.
Menjadikan craftsmanship dan savoir-faire sebagai bagian identitas, kreativitas Louis Vuitton juga dituangkan pada special projects. Contohnya pada tahun 1996 merayakan 100 tahun Monogram LV, Helmut Lang sebagai salah satu invited designer berkolaborasi menciptakan vinyl box. Dalam proyek serupa pada tahun 2014, desainer Karl Lagerfeld menciptakan boxing trunk. Bentuk lain komitmen Louis Vuitton pada eksplorasi teknik dan desain trunk tertuang pada penciptaan case bagi piala-piala kejuaraan dunia, seperti trophy trunk untuk FIFA World Cup 2018, Davis Cup 2019, League of Legend Championship 2019, dan Larry O’Brien Championship 2020. Sebagaimana Monsieur Louis Vuitton melakukan terobosan pada masanya, Louis Vuitton pun terus berupaya melahirkan inovasi-inovasi mutakhir. Kini atelier di Asnières mampu mengkombinasikan warisan tradisi savoir-faire dan craftsmanship berusia lebih dari 1,5 abad dengan teknologi 3D printing.
Welcome the futuristic Louis Vuitton trunk!