DWI SUTARJANTONO. Pernah menjadi pimpinan di beberapa majalah terkemuka Indonesia, seperti ‘Esquire’, ‘Dewi’, ‘Hello!’ dan ‘Fitness for Men’. Dikenal luas sebagai pakar gaya hidup, Dwi yang menguasai tiga bahasa (+ Inggris & Prancis), sering menjadi pembicara tema travel, fashion, dan jurnalisme.
Beberapa waktu lalu saya membaca status seorang teman media di Facebook. Intinya, dia mencak-mencak ketika menerima undangan yang mencantumkan nara sumbernya adalah si X, selebgram dengan follower sekian K. “Najis. Siapa elo? Hanya gara-gara follower-nya banyak langsung jadi narasumber.”
Di lain waktu saya juga menyimak status teman lain yang intinya mempertanyakan kehadiran para selebgram di berbagai acara bahkan sampai ke luar negeri. “Udah gayanya sok, enak banget dapat prioritas, padahal cuma foto doang.”
Membaca itu semua, saya lantas membayangkan menjadi selebgram. Memangnya benar enak?
Kasus 1
Anggap saja saya tiba-tiba dikontak untuk endorse sepatu dari sebuah online shop. Lumayanlah, dapat sepatu gratis. Harganya sih oke. Lah, sudah seneng-seneng, kenapa gak ada kabar. Dasar PHP!
Kasus 2
Kali ini ada online shop yang oke dengan bayaran oke banget. Dalam hitungan hari baju yang harus saya endorse tiba dengan selamat. Pas saya lihat, yaa ampuun… look-nya sih oke, tetapi bahannya jelek amat. Kalau nggak di-endorse, males banget belinya. Ya sudahlah, namanya juga barang endorse. Yang penting duitnya oke.
Kasus 3
Ini baru mantab. Brand lumayan terkenal kirim baju. Tetapi kenapa ukurannya kegedean ya. Padahal sudah bener M. Kalau saya bawa ke tukang jahit kapan waktunya? Soalnya si brand yang lumayan terkenal ini minta langsung besok sudah tayang (padahal mau foto bagus kan perlu persiapan. Memangnya saya gak ada kerjaan lain?) dan gak mungkin ganti lagi karena jumlah terbatas plus mereka bilang barang yang sudah dikirim ya tak bisa balik butik. Kesel!
Kasus 4
Online shop mengirim DM, suka karena celana yang saya endorse laku berat. Sebaliknya, followers saya ngomel-ngomel mengancam unfollow karena celana yang saya endorse aslinya jelek banget. OMG!
Kasus 5,6,7…Anda buat sendiri.
Hmm… okelah. Itu semua memang hanya bayangan saya tentang bagaimana jika saya menjadi selebgram. Tentu tidak semua seperti itu tetapi mungkin saja kan itu terjadi?
Saya rasa jadi selebgram juga tidak selalu enak karena sudah pasti banyak tuntutan, perlu modal, dan siap jadi korban produk (bayangkan jika produk kosmetik yang di endorse tidak cocok di kulit wajah. Siapa yang mau tanggung?)
Namun di sisi lain, saya sebagai mantan editor juga paham kesalnya teman-teman media yang mempertanyakan kapabilitas selebgram terkait dengan produk dan penguasaan produk. Apalagi ditambah sikap brand yang seperti “mendewakan” sang selebgram.
Sebenernya semuanya bisa baik-baik saja apabila masing-masing paham porsinya. Bukankah selebgram juga punya tugas dan kewajiban menghasilkan gambar yang bagus untuk followers-nya? Bukankah mereka harus melakukan sesi pemotretan yang bisa jadi tidak murah karena harus membayar fotografer bahkan pengarah gaya? Ini lah pekerjaan mereka.
Tentunya masukan juga buat pihak brand agar tidak “melupakan” para jurnalis yang sudah mendedikasikan dirinya di dunia jurnalistik yang penuh data dan riset.
Yang sangat disayangkan adalah ketika para selebgram ini “lupa diri”. Merasa dirinya paling lebih. Lebih hebat, lebih terkenal, dan lebih tahu segalanya (diibanding jurnalis yang barangkali sudah bertahun-tahun menulis tentang suatu
produk misalnya).
Bukankah banyak contoh di luaran bagaimana para selebritis “beneran” bisa bersikap ramah dan tetap rendah hati meskipun sudah terkenal? Bukankan banyak contoh selebritis “beneran” yang juga mau belajar? Saya punya sahabat selebriti yang hanya mau menjadi bintang iklan karena memang dia pemakai produknya. Keren, kan?
Tetapi kalau memang para selebgram lebih memilih hanya tampil gaya, sok tahu, dan bergaya eksklusif, saya sih setuju dengan teman saya, “Siapa elo?”