Monita Tahalea as Captured by John Navid

Photographed by John Navid  Directed by Jonathan Andy Tan

The Editors Club mengabadikan sebuah cerita yang menginterpretasikan lingkup paralel waktu masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Menggabungkan koleksi Spring/Summer dan Holiday 2019 dari CK Calvin Klein, Anda kami ajak untuk menikmati sebuah karya visual hasil kolaborasi dua musisi Indonesia, Monita Tahelea dan John Navid.  Luangkan sesaat dalam halaman ini!

 

 

 

 

 

Dalam kesempatan ini kami juga berbincang dengan Monita Tahalea mengenai single, album, hingga pandangan sang musisi mengenai industri musik Tanah Air. Sebagai seorang penyanyi dan pencipta lagu yang telah berkarya selama lebih dari satu dekade dalam skema musik independen Indonesia, Monita membagikan sudut pandang personalnya terhadap industri ini. Berikut hasil obrolan kami.

 

Kami mendengarkan single terbaru Anda, ‘Sesaat Yang Abadi’. Dengan lirik yang sedikit, lagu ini sangat menyentuh. Begitu pun music video-nya, semuanya terlihat dikonsepkan dengan matang. Apakah ada cerita personal di balik lagu ini? 

Dari judulnya, jelas bahwa lagu ini bercerita tentang waktu. ‘Sesaat Yang Abadi’, ada sebuah paradoks di mana dalam sebuah kalimat terdapat dua kata yang bertentangan, ‘sesaat’ dan ‘abadi’. Tetapi keduanya sama-sama berbicara soal waktu. Awalnya lagu ini hanya berbentuk puisi, itu sebabnya liriknya sangat sedikit. Setiap baris sebenarnya punya cerita berbeda, tapi ketika disatukan menjadi sebuah kalimat, garis besarnya bercerita tentang waktu dan momen yang pernah ada di dunia ini, dalam kehidupan kita. Tidak terbatas apakah letaknya di masa depan, masa lalu, atau sekarang. Kalau bicara soal waktu memang konteksnya dalam dan luas sekali – tidak terbatas – seperti menjaring angin. Maksudnya, sesuatu yang tidak bisa kita pegang, hanya bisa kita alami.

Kata-kata dalam bait pertama, “Oh, bila sesaat itu abadi, izinkan aku di sini sebentar lagi,” itu saya dapatkan ketika saya sedang jalan pagi, sekitar jam 5 pagi, tiba-tiba saya teringat dengan adik laki-laki saya yang meninggal di umur empat tahun. Sebelum dia meninggal kami sekeluarga sempat jalan-jalan naik kereta ke Jogja – dia paling senang dengan kereta. Saat itu dia duduk di sisi jendela dan menatap ke luar jendela dengan pandangan jauh ke depan. Biasanya anak kecil selalu happy, tidak memikirkan apa-apa, tapi ketika melihat adik saya, saya bertanya-tanya, “apa sih yang dia pikirkan?”. Ketika akhirnya dia pergi, di situ saya mengingat apakah waktu itu dia duduk di jendela kereta sedang berharap kalau dia bisa di sini sebentar lagi? Kita manusia, sebenarnya mau empat tahun atau 60 tahun sekalipun, hanya hidup sesaat saja.

Di bagian chorus saya mengatakan “Menikmati pagi yang menyapa hati, yang telah seribu tahun lamanya sepi.” Lirik ini lebih membicarakan masa sekarang. Kita semua sibuk sekali mengejar karier, hal-hal material yang bisa kita pegang, ini dan itu, sampai kita lupa menikmati hal sederhana seperti matahari pagi atau kita bisa menghirup udara yang gratis. Lalu di bait terakhir saya tulis “Oh, bila sesaat takkan kembali, biarkan aku bernyanyi sekali lagi.” Ini benar-benar bicara tentang betapa musik itu anugerah. Jadi, kalau saya diberikan kesempatan untuk terus bernyanyi, I will do my best to sing every song and deliver every message in it. Bernyanyi adalah momen di mana saya merasa paling dekat dengan sang pencipta dan saya bisa menyampaikan banyak pesan melalui bernyanyi. Lagu ini bercerita tentang banyak momen, tapi garis besarnya tentang waktu.

 

Jadi, sebenarnya lagu ini punya nilai personal yang dalam bagi Anda. 

Iya, tapi saya tidak berusaha menjelaskan itu kepada pendengar. Konsep videonya tidak bertumpu pada periode tertentu dan dalam liriknya pun saya tidak menyebutkan apa momennya. Saya menyadari ketika sebuah lagu sudah didengar oleh orang lain, lagu itu akan menjadi momen milik orang lain juga. Sehingga masing-masing yang mendengar bisa menyimpan lagu itu dalam interpretasi mereka sendiri, biarlah apa yang mereka dapat dari lagu tersebut tidak dibatasi dengan imajinasi saya atau pengalaman saya.

‘Sesaat’ dan ‘abadi’,  dua kata yang bertentangan, tetapi keduanya sama-sama berbicara soal waktu.

 

Anda telah merilis dua album dengan karakter yang berbeda, album pertama dengan genre jazz dan yang kedua lebih ke pop folk. Apa yang bisa orang-orang harapkan dari album ketiga nanti?

Single ‘Sesaat Yang Abadi’ cukup mengandung bocoran tentang album selanjutnya. Ibaratnya seperti keset ‘welcome’ yang bisa memberikan gambaran sebelum orang masuk ke rumah orang lain. Karena kalau orang mendengar musik saya pasti kesan organik dan jazz-nya terasa kental, jadi pelan-pelan saya perkenalkan ke hal-hal yang sedang saya explore. Ada banyak sound modular, lalu seperti yang Anda dengar dalam ‘Sesaat Yang Abadi’, meskipun terkesan ballad tapi sebenarnya ada beat down tempo yang trippy. Saya belum merasa ingin (bertransisi) ke musik yang terlalu electronic, jadi lebih mengeksplorasi down tempo-nya.

 

Bicara soal genre, sekarang genre sudah berkembang menjadi sangat luas. Dalam musik rock saja misalnya, kita mengenal progressive rock, alternative rock, psychedelic rock, you name it. Apakah menurut Anda masih relevan jika musisi dikategorikan berdasarkan genre mereka?

Sebenarnya genre ada untuk membantu orang-orang supaya lebih tahu dan terarah. Atau karena adanya awarding shows, semua harus ada kategorinya. Padahal bagi saya dalam membuat suatu musik saja referensinya sudah sangat banyak, ditambah dengan adanya orang-orang di balik layar yang membantu mengemas musiknya – masing-masing punya referensi sendiri yang berbeda. Saya pun tidak selalu mendengarkan jazz atau folk; saya dengarkan blues juga, rock juga, dan dangdut sekalipun. Jadi, bagi saya kotak-kotak genre sudah tidak relevan lagi. Apa lagi begitu masuk ke musik. Pendengar setia kita sebetulnya sudah tidak memikirkan genre lagi, mereka langsung berimajinasi saja lagu ini tentang apa dan langsung masuk ke dalam musiknya.

Kalau cerita sebenarnya, ketika kita membuat lagu tidak ada percakapan “Kita akan membuat lagu jazz, kita akan membuat lagu folk.” Sama sekali tidak seperti itu. Semua dirakit dari kata-kata yang ada, lalu kita bicarakan lagunya tentang apa. Misalnya tentang waktu, kita diskusikan bagaimana caranya menggambarkan ruang dan waktu, “Oh, mungkin dengan sound modular kita dapat membantu teman-teman yang mendengar masuk ke ruang waktu lewat lagu ini.” Jadi, seperti melukis di blank canvas, dalam prosesnya kita putuskan warna apa yang akan kita masukkan ke dalam lagu tersebut. Langit ‘kan tidak selalu biru, langit bisa saja tiba-tiba kuning.

Sekarang saatnya mengeluarkan semua ide yang kita punya supaya beberapa puluh tahun mendatang akan terlihat kultur seperti apa yang kita bentuk.

 

What kind of music suits you best? Apa preferensi personal Anda?

Hmm… Ada masanya. Ada masanya ketika saya ingin kembali lagi ke mendengarkan Louis Armstrong di pagi hari; ada masanya ketika ingin mendengarkan sesuatu agak lebih wild. Biasanya saya mendengarkan musisi Jepang. Dengan adanya platform digital, sekarang kita bisa mendengarkan banyak sekali musik dan mendapat referensi baru. Ada masanya ketika ingin mendengarkan sesuatu yang lebih dark, lebih light, lebih deep. Jadi, tergantung masa dan tergantung sekitar. Bahkan ada masanya saya tidak mendengarkan musik sama sekali dan lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku dan menonton film.

 

Orang-orang tahu bahwa ketika bekerja dalam industri kreatif, apapun itu bentuknya, setiap orang pasti idealis. Tetapi kita musti tahu kapan harus meredupkan idealisme kita dan mengutamakan pasar, karena pada akhirnya dalam bekerja kita pasti butuh ‘pasar’. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Kalau menurut saya, ideal bagi setiap orang berbeda-beda. Yang lebih mencari uang dan lebih ke industri mainstream itu menjadi ideal bagi mereka. Ada juga idealnya orang yang lebih ingin jalan di tempat sunyi. Kalau soal meredupkan idealisme, ada banyak project yang sebenarnya di luar album saya bisa juga saya gali karena membuka wawasan bagi saya. Tapi ketika kembali ke album saya sendiri, saya sama sekali tidak punya pikiran untuk tone down apapun karena di zaman sekarang kita semua bisa menciptakan pasar sendiri.

Ketika kita membuat sebuah lagu, sebenarnya kita sudah punya bayangan siapa pendengar yang akan kita gapai. Kalau saya perhatikan, rata-rata pendengar saya juga tertarik dengan hal yang sama, jadi itu semua seperti magnet; kita menarik orang-orang yang mempunyai kesukaan yang sama. Sayang sekali kalau harus meredupkan idealisme jika kita bisa menciptakan sesuatu yang inovatif dan menginspirasi pasar kita untuk menjadi kreatif. Di era digital yang sudah sangat accessible ini, di mana kita bisa mengunggah dan mengatur sendiri, justru seharusnya jadi saat bagi orang-orang untuk menjadi sekreatif mungkin dan mengeluarkan ide yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain sebelumnya. Saya percaya bahwa kita semua membawa misinya masing-masing tanpa harus memenangkan semuanya.

Kalau kita melihat ke belakang, banyak musisi-musisi yang telah menjadi history maker. Di era ’60-an kita tahu musiknya seperti apa, di era ’70-an kita tahu Joni Mitchell dan yang lainnya sedang bicara soal politik. Seni itu seperti peradaban, jika kita meredupkan idealisme kita, pikirkan 20 tahun mendatang orang-orang jadi tidak bisa membaca era yang kita jalani sekarang. Karena setiap era baru bisa dilihat secara jelas pada masa sekarang, mulai dari musiknya, fashion-nya, dan industrinya yang membentuk peradaban. Menurut saya sekarang saatnya mengeluarkan semua ide yang kita punya supaya beberapa puluh tahun mendatang akan terlihat kultur seperti apa yang kita bentuk.

 

Berkaitan dengan RUU Permusikan yang kemarin sempat membuat heboh, menurut Anda sendiri, apa hukum atau aturan yang justru di zaman sekarang ini diperlukan untuk melindungi atau mensejahterakan karier musisi di Indonesia?

Pertanyaan yang sulit untuk saya jawab. Kalau bicara mengenai sistem di Indonesia, sistem sudah diciptakan dari awal; Indonesia sudah merdeka sejak kapan dan musisi Indonesia sudah berkarier sejak kapan. Kalau tiba-tiba ingin membuat sistem atau aturan baru, mau dimulai dari mana? Karena dalam industri musik sendiri bukan cuma ada saya sebagai seorang penyanyi atau pencipta lagu, ada sound engineer, ada crew-nya, dan orang-orang lain di belakangnya. Walaupun mereka bukan pencipta musik tetapi mereka bekerja di dunia musik.

Yang paling mudah adalah mengurus hak cipta terlebih dahulu. Sekarang pendataan tentang lagu-lagu saja belum rapih sehingga membingungkan ketika kita mau menggunakan lagu lama, kita tidak tahu siapa yang memegang masternya dan harus cari ke mana. Lebih baik fokus saja terus berkarya sekarang sambil menjaga karya-karya kita. Kita sebagai musisi akhirnya harus disiplin dan musti bertanggung jawab pada karya kita. Semua harus disimpan dengan rapih supaya suatu hari nanti kalau orang lihat setidaknya jadi diskografi yang jelas, apa saja yang pernah kita kerjakan.

 

That’s everything. Monita, terima kasih telah meluangkan waktu untuk kami!

Terima kasih!

 

 

Steal her look.


previous arrow
next arrow
Slider


 

 

From the Lens of John Navid

Sejak 2008, John Navid, yang lebih dikenal sebagai drummer dari band White Shoes and the Couples Company, telah mendalami fotografi guna mendokumentasikan aktivitas band yang digawanginya tersebut. Berangkat dari hobi ini, John memutuskan untuk terus mengasah keahliannya dalam mengabadikan momen. Pada era di mana kamera digital telah mempermudah proses pengambilan gambar sekaligus mempercepat proses seleksi hasil foto, dan meskipun kamera analog tengah menjadi tren, John memilih untuk menggunakan kamera polaroid sebagai perkakas utama untuk menangkap objeknya.

Dengan proses belajar yang terbilang tidak cepat, John mampu bereksperimen dengan gaya visualnya sendiri, menghasilkan foto-foto dengan sense of art yang khas blurry images, expired films, double exposure effect. “Saya tidak mengharapkan kesempurnaan ketika mengambil gambar dengan polaroid. Justru kegagalan-kegagalan itu yang saya sukai, itu yang keren.”

Meski ada beberapa tawaran yang menghampirinya, sang drummer merasa belum ingin menjadikan hobinya ini sebagai profesi. “Foto itu merekam sejarah. Karena ingatan saya kurang kuat, saya senang mengabadikan tempat-tempat dan momen yang saya anggap spesial. Hingga sekarang, inilah fungsi fotografi bagi saya. Saya ingin membagikan hal yang saya suka,” ujarnya.

Bersama The Editors Club, John mengadaptasi fashion direction untuk pertama kalinya ke dalam karya visualnya.