Iabadiou Piko Melukis secara Bebas dan Tak Terencana

A journey to the inner self.

 

There is no abstract art. You must always start with something,ucap pelukis asal Spanyol legendaris, Pablo Picasso pada tahun 1935. Sebelumnya di tahun 1928 dalam sebuah wawancara, ia mengatakan hal bernada sama, I have a horror of so-called abstract painting.…When one sticks colors next to each other and traces lines in space that don’t correspond to anything, the result is decoration. Para akademisi seni melihat bahwa sikap keras sang seniman sebagai semacam wujud rasa terancam dengan popularitas genre lukis abstrak kala itu. Ironisnya – atau mungkin lucunya – justru karya-karya kubisme dirinya lah yang turut membuka jalan bagi kelahiran aliran seni lukis abstrak.

Setidaknya satu contoh lukisan kubisme Picasso yang kuat bernuansa abstrak adalah “Still Life with a Bottle of Rum” (1911). Pada lukisan tersebut, botol yang menjadi subjek lukisan tak lagi jelas rupanya. Menurut sebagian teoretikus dan kritikus seni, konsekuensi terjauh dari kubisme ialah penciptaan karya-karya yang subjeknya tak lagi bersifat representasional terhadap realitas. Itulah sebabnya pelukis abstrak asal Belanda, Piet Mondrian – yang sebagian karyanya mengilhami beberapa rancangan ikonis Yves Saint Laurent berjulukan ‘Mondrian Dress’ – mengatakan “Cubism did not accept the logical consequences of its own discoveries.” Dalam berkarya, seniman abad ke-20 itu pun terinspirasi oleh karya-karya genre kubisme. Termasuk di dalamnya adalah lukisan-lukisan kubisme ciptaan Pablo Picasso.

Di latar seni tanah air masa kini, Iabadiou Piko menjadi salah satu abstract painter yang mengaku terinspirasi oleh Picasso. Akan tetapi, berbeda dengan Mondrian yang kemudian mengarahkan seninya ke pemaknaan transendental – sebagaimana ia mengatakan, “Art is higher than reality and has no direct relation to reality. To approach the spiritual in art, one will make as little use as possible of reality, because reality is opposed to the spiritual” – Piko membangun karya-karyanya sebagai penggalian atas realitas internal ke-manusia-an dalam kaitannya dengan kehidupan. Kepada The Editors Club, Piko menguak lebih lanjut makna eksplorasi artistiknya di wilayah seni abstrak.

The Transition
We first posted one of two Pico’s artworks specially created for us on our Instagram account (@theeditors_club) right before Christmas day. It’s such an artsy and fun Holiday greeting expression to close the year full of turbulence. Jika melihat karya tersebut, memori Anda mungkin akan langsung terbang jauh ke belakang ke masa kecil dulu. Coretan ala anak-anak nan berwarna-warni pada lukisan itu terasa begitu satisfying. Sisi indahnya memang tidak “lumrah” alias bukan tergolong definisi cantik yang awamnya orang pahami – misal seperti lukisan bunga mawar yang cantik. Akan tetapi melalui keacak-acakan khas children scribble itu, karya tersebut menstimulasi rasa estetik; mencuatkan kembali ingatan rasa akan bagaimana seorang anak asik dan khusuk dalam mencorat-coret kertas dengan krayon atau pensil warna. That feeling confronts us with a sad truth about how the world has been build with the lack of such innocent enjoyment.

Elemen bergaya children scribble memang secara intensional dihadirkan pada karya-karya seniman asal Prabumulih, Sumatera Selatan, itu. “Coretan ala anak-anak kecil mewakili ekspresi yang bebas dan bermain seperti dipengaruhi oleh pikiran yang liar,” ujarnya mengenai aspek visual tersebut. Tentu saja, berbeda dengan gambar buatan bocah, guratan dan goresan pada kanvas Pico telah mendapat pengaruh dari pelukis-pelukis yang menjadi referensinya. Selain Picasso, Jean-Michel Basquiat yang karya-karyanya tampak begitu ekspresif, bernuansa graffiti, dan kental muatan kritik sosial juga disebutnya sebagai salah satu artist yang ia rujuk. Berawal dari Picasso dan Basquiat, kecintaannya pada cabang lukis abstrak membawanya pada referensi-referensi pelukis lain. Beberapa di antaranya adalah Cy Twombly, Henri Matisse, Joan Miró, A.R. Penck, Antoni Tàpies, dan Jean Dubuffet. Dengan menggali referensi seputar nama-nama tersebut, kemampuan dan kreativitas Piko dalam melukis terus diasah.

Di mata Piko, keindahan di cabang lukis abstrak selalu berubah dan ia tak pernah bosan melihatnya. Passion terhadap bidang tersebut lah yang membuatnya menekuni profesinya yang sekarang alih-alih bergerak di dunia fotografi profesional sesuai dengan latar pendidikannya. Sosok yang berlatarbelakang keluarga pedagang bumbu masak di pasar Prabumulih ini menempuh pedidikan fotografi di Academic Design of Vision Yogyakarta (ADVY) pada tahun 2002. Saat itu, pertimbangannya untuk mengambil jalur tersebut dilandasi oleh alasan simple saja. “Sebenarnya waktu mau kuliah tahun 2002 saya bingung mau pilih apa. Tapi akhirnya saya datang ke Yogyakarta dengan niat cari [jurusan] yang banyak prakteknya daripada teori,” kisah Piko yang juga menyebut bahwa sang kakak lah yang kemudian menyarankannya untuk pilih bidang fotografi.

Menengok ke masa lalu, pelukis yang selama berkarya telah menggelar solo exhibition di Jerman, Dubai, dan Taiwan ini mengatakan bahwa ia dulu tak terbayang untuk menjadi seniman. Diceritakan bahwa Piko kecil terlalu banyak bermain, baik permainan tradisional atau video game, dan suka menonton film kartun dan kungfu. Beranjak remaja, ia mulai menonton festival musik bahkan mengkuti festival band. Ketertarikan pada seni lukis muncul kala dirinya mengenyam bangku pendidikan di ADVY, tepatnya pada tahun 2003. Di tahun itu lah, Piko menemukan buku kumpulan karya Piccasso di perpustakaan kampusnya. “Sehabis mata kuliah, saya selalu sempatkan diri pergi ke perpustakaan kampus. Pada suatu momen, saya lihat buku kumpulan karya Pablo Picasso dan berkata dalam hati ‘saya bisa melukis’,” kenangnya. Ketertarikan pada dunia kanvas dan kuas semakin kuat setelah ia menonton film tentang Basquiat bersama teman kosnya.

Meski sudah suka dengan bidang lukis semenjak periode kuliah, baru pada tahun 2008 Piko berkarya di atas kanvas. “Pada tahun 2008 di bulan Maret, saya memberanikan diri untuk belajar berkarya di atas media kanvas. Saya belajar dengan teman kuliah di ADVY, dari cara pasang kanvas mentah dan melamirnya dan berkarya,” ucapnya. Piko merasakan bahwa ada perbedaan yang jelas antara wilayah fotografi dan lukis. Di area lukis, ia melihat bahwa ekspresi dari dalam diri bisa langsung disampaikan di atas kertas atau kanvas, sedangkan di fotografi ada banyak tahap yang perlu dilalui untuk menciptakan karya. Ini pula yang memantapkannya untuk serius mengambil jalur seni lukis ketimbang fotografi.

 

“Mengganggu persepsi audiens untuk memanggil kembali pengalaman dan ingatannya.”

 

Piko’s Purpose: Reviving Memories
Jika Anda melihat karya-karya lukisan dalam golongan abstraksionisme, seperti karya-karya Iabadiou Piko maupun lainnya, mungkin pernah terbersit dalam pikiran Anda pertanyaan mengenai bagaimana maksud sang seniman dapat ditangkap oleh penikmat melalui goresan garis, bentuk, dan warna yang nonsensical. Mempertimbangkan genre abstrak yang tampak paling least-effective untuk menyampaikan sebuah pesan, cabang seni itu sepertinya merupakan yang paling dekat dengan gagasan art for art’s sake. Dalam bahasa Prancis berbunyi l’art pour l’art, ide mengenai seni untuk seni itu sendiri muncul di awal abad ke-19; yakni konsep mengenai seni diciptakan bukan untuk melayani kepentingan politik, alat pengajaran moral, dan tujuan-tujuan eksternal lain, melainkan untuk penikmatan seni itu sendiri.

Akan tetapi sejarah seni mengungkap fakta berbeda. Di awal kelahirannya, seni abstrak justru dibuat untuk mengemban sebuah agenda “misionaris”. Pelukis Rusia bernama Wassily Kandinsky, salah seorang pioner abstract art dunia Barat, mengetengahkan teori bahwa layaknya seorang nabi, seniman bertugas membimbing manusia menuju pencerahan spiritual melalui karya-karya abstrak yang merepresentasikan inner world dari sang seniman dan meyentuh jiwanya. Dalam kehidupannya, Kadinsky memang dekat dengan ide-ide theosophy. Pun demikian dengan Piet Mondrian, Frantisek Kupka, serta seniman-seniman abstrak lain di awal kemunculan genre tersebut di abad ke-20 yang terpikat pada filsafat serta agama Timur maupun Barat.

Spiritualitas dan mistisisme menjadi alternatif pandangan hidup yang menarik bagi mereka lantaran latar realita peradaban masa itu, dimana perkembangan teknologi dan pemujaan materialisme maupun rasionalisme, mengakibatkan banyak problem, sebagaimana dipaparkan dalam artikel The New York Times tahun 1986 berjudul “Art View; How The Spiritual Infused The Abstract”. Zaman berkembang dan perspektif pelukis abstrak kontemporer pun semakin variatif serta meluas. Pada artikel “11 Emerging Artist Redefining Abstract Painting”, tiap pelukis yang diwawancara membawa konsepsi yang berbeda-beda mengenai abstract painting. Mulai dari pengakuan akan keberadaan sifat representasional pada karya abstraknya hingga peyediaan ruang bagi penikmat untuk menggunakan imajinasinya sendiri dalam pengalamannya melihat sebuah karya.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah tujuan penciptaan karya seni abstrak – atau karya seni secara umum – dalam praktiknya berpulang pada teritori dan hak prerogatif pencipta karya. Entah bertujuan sebagai corong kritik sosial, pengajaran moral, ataupun mengikuti prinsip art for the art’s sake – atau bahkan menjadi purposeless art jika hal itu memang dimungkinkan – sebuah karya seni adalah ladang bebas bagi seniman untuk menetapkan ideologi dan aturannya sendiri. Piko pun mengolah area artistik miliknya dengan visi dan misinya sendiri. Dalam menciptakan karya-karya, Ia berangkat dari memori dan emosi personal; menjelajah ke dalam lapisan-lapisan internal. “Saya menyelidiki momentum sifat estetika dan mentalitas, hubungan manusia dan di luar diri mereka sendiri. Seperti ketegangan, ketakutan, kerapuhan, kesepian, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan, keliaran, kemisteriusan, kehancuran, keburukan, kecanduan dan keanehan, dan kematian. Dimana manusia dipengaruhi oleh Allah, alam, lingkungan, tempat dan sosial,” ucapnya.

Melalui intuisi, pengalaman perseptual Piko yang personal itu “dipetakan” dalam karya. Secara bebas ia membangun asosiasi antara pengalaman dan perilaku psikologis dengan garis hingga warna dalam lukisan yang berupa abstraksi, figurasi, serta paduan huruf-huruf. Semua tumpang tindih dan serempak. Seperti dikatakannya kepada The Editors Club, lukisan-lukisannya dikreasikan secara tak terencana dengan pengembangan yang langsung dilakukan di atas kanvas. “Saya membuatnya seperti bermain dengan bebas, mengalir, spontanitas, ketika mencoret, menumpuk, memblokir, mencampurkan materi yang berbeda, kemudian mengamati dan merasakannya berulang kali,” ungkapnya yang juga menyebut bahwa terkadang hasil lukisannya pun tak deskriptif. Hal ini tampak pararel dengan elemen children scribble yang ia masukkan pada lukisan-lukisannya. He paints the way children focus on their drawing.

Bagi seniman yang pernah melakukan residensi di Luzhunan Historical House Taiwan ini, prosesnya dalam membuahkan sebuah karya bagai berziarah untuk dirinya sendiri dimana ingatan, imajinasi, ide, perasaan, semua melebur dalam atmosfer jiwa. Piko menjelaskan bahwa karya-karyanya terbentuk dari dan tentang manusia dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Ia mengatakan, “Ketika saya berkarya, itu adalah hasil dari pencerapan kehidupan itu sendiri.” Sampai sejauh ini, terlihat 2 hal yang terkandung dalam olah artistik yang dilakukan Piko. Yang pertama adalah retrospektif yang memunculkan kembali memori ragam rasa sepanjang hidupnya, dan yang ke dua adalah refleksi mengenai bagaimana semua aspek internal itu berkaitan dengan peristiwa-perisitiwa eksternal. Lalu adakah tujuan yang ia tetapkan bagi lukisan-lukisannya terhadap mereka yang melihat?

Mengenai hal itu, Piko menyebut sebuah tujuan yang meresonansi caranya ia berelasi dengan lukisan-lukisannya. Sebagaimana proses melukis dan hasil akhirnya membuat ia mengenang kembali segala yang terjadi dalam hidupnya, ia berupaya agar lukisan-lukisan tersebut dapat pula menyulut memori para penikmat. “Mengganggu persepsi audiens untuk memanggil kembali pengalaman dan ingatannya,” ungkap Piko. Ia ingin agar dari hal tersebut, baik dirinya maupun penikmat, dapat membangun jejak visual diri dan realitas yang terus berubah. Realitas seperti apa yang ia idealkan untuk dibangun? Di sini pelukis kelahiran tahun 1984 tersebut tak mengelaborasi lebih lanjut. Inilah yang membedakan Piko dengan para founding fathers abstraksionisme. Ia menyediakan ruang para penikmat lukisannya untuk berproses sendiri dalam menentukan tujuan seperti apa yang perlu dibangun setelah berhadapan dengan lukisan-lukisannya. Saat melihat lukisannya, Anda bukan diposisikan untuk “diceramahi”, melainkan ditantang untuk menghadapi kembali masa lalu, melihatnya lewat sudut pandang pemaknaan baru, untuk menciptakan diri yang baru.