By:Â Fitria Sofyani
Dari Dior feminist T-shirt, Missoni pink pussy hat hingga Louis Vuitton #MakeAPromise campaign, fashion house menciptakan tren baru dalam merespon berbagai isu global.
Mengingat kembali saat pertama kali Maria Grazia Chiuri, Art Director of Christian Dior, âmelemparkan batuâ feminisme ke runway high-end fashion pada show–nya untuk koleksi Spring 2017, ia berhasil mencuri perhatian industri fashion dunia. Meski bukan desainer pertama yang mempromosikan feminisme ke panggung mode (Miuccia Prada dan Karl Lagerfeld telah melakukannya lebih dulu), tapi Chiuri adalah yang paling lantang menggunakan the F word. Model berlenggok dengan tulisan âWe should all be Feministsâ di T-shirt mereka yang bernilai US$710 dan dunia pun terkesima. T-shirt tersebut laris manis, dan feminis menjadi kata-kata populer, bahkan feminisme dinobatkan sebagai Word of The Year 2017 oleh kamus Merriam Webster November 2017 lalu.
Industri fashion masih kerap dianggap sebagai industri yang diskriminatif terhadap perempuan. Business of Fashion melaporkan bahwa 70% dari pekerja di industri fashion adalah perempuan, namun hanya 25% yang menduduki posisi teratas industri tersebut. Group LVMH yang menaungi brands seperti Louis Vuitton, Christian Dior, Fendi dan Givenchy misalnya hanya memiliki 1 perempuan di antara 11 laki-laki dalam komite eksekutif mereka. Sementara hampir semua rumah mode besar dipimpin oleh desainer laki-laki.
Karena itu, gebrakan yang dibuat Chiuri menjadi sebuah batu lompatan yang besar yang dilakukan major fashion house seperti Dior. Tak hanya di runway, pada Maret 2017, untuk merayakan International Womenâs Day, Dior meluncurkan program “Women@Dior”, sebuah program mentorship untuk perempuan muda yang memiliki aspirasi bekerja di industri mode. Sebagian dari hasil penjualan dari Feminist T-shirt juga disumbangkan ke Clara Lionel Foundation milik Rihanna yang bekerja untuk meningkatkan akses pendidikan, kesehatan dan kesetaraan bagi perempuan.
Meski belum jadi fokus bagi banyak sektor, namun isu kesetaraan perempuan menjadi isu yang semakin penting di abad ini. Perempuan memang mengalami kemajuan dalam berbagai hal, namun praktik diskriminasi terhadap perempuan muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga akses ekonomi dan kesempatan kerja. Menurut UN Women, setidaknya 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang sebagian besar dilakukan oleh pasangan. Karena itu ambisi untuk mencapai kesetaraan perempuan masuk dalam salah satu poin penting Sustanaible Development Goal 2030 yang dicanangkan oleh PBB. Sudah saatnya semua pihak termasuk pelaku industri fashion turut melakukan upaya untuk mencapai ambisi ini.
Satu bulan setelah event Womenâs March yang berlangsung di Washington dan berbagai kota besar dunia lainnya termasuk Jakarta, creative director Missoni, Angela Missoni memakaikan pink pussy hat di kepala setiap model pada sesi finale untuk koleksi Fall 2017-nya. Pussyhat berwarna pink yang dipopulerkan pada Womenâs March ini menjadi simbol aksi protes dan solidaritas perempuan. âSaya ingin menegaskan bahwa di masa-masa yang penuh ketidakpastian saat ini, ada ikatan yang menyatukan kita dan membuat kita merasa lebih kuat dan aman. Ikatan tersebut menyatukan orang-orang yang menghormati hak asasi manusia. Ayo bergabung bersama saya dan kita perlihatkan pada dunia bahwa komunitas fashion bersatu dan tidak takut,â ungkap sang desainer.
Tetapi feminisme bukan satu-satunya wacana sosial yang menjadi perhatian industri mode. Berbagai isu sosial politik sepanjang 2016-2017 seperti rasisme, imigran, dan krisis pengungsi berebut mendapat tempat di panggung mode baik melalui konsep show, atau yang lebih populer melalui slogan T-shirt. Pada fashion week Spring â18 September lalu, beberapa desainer dan fashion house, diantaranya Tommy Hilfiger, Thakoon, Prabal Gurung, DVF dan Christian Dior menggunakan elemen bandana putih dalam show mereka. Bandana putih ini diasosiasikan dengan hashtag #TiedTogether sebagai simbol inclusivity dan acceptance serta dukungan terhadap UN Refugee Agency.
Social Responsibility
Atraksi panggung atau slogan T-shirt menjadi salah satu cara yang dilakukan desainer dan brand untuk menunjukkan respon mereka terhadap persoalan global. Namun selain itu, melalui agenda Corporate Social Responsibility (CSR) pelaku indsutri fashion juga telah melakukan komitmen sosial yang serius dan memberi dampak signifikan. Pada tahun 2013 Gucci meluncurkan program global Chime for Change, yang juga mempromosikan kesetaraan gender melalui ambassador mereka Beyonce dan Salma Hayek. Edukasi, kesehatan dan keadilan untuk perempuan menjadi fokus dalam kampanye ini. Objektif mereka: berpartisipasi dalam mengkahiri kemiskinan pada 2030.
Sementara itu, Louis Vuitton memilih untuk berfokus kepada kesejahteraan anak-anak melalui kampanye #MakeAPromise. Bermitra dengan UNICEF, pada 2016 Louis Vuitton membuat komitmen untuk membantu anak-anak yang hidup dalam krisis kemanusiaan seperti di Suriah dan Nigeria melalui penjualan koleksi perhiasan liontin dan gelang dengan silver lockit sebagai simbol janji untuk membuat dunia yang lebih baik bagi anak-anak. Dari setiap penjualan koleksi tersebut, sebanyak US$200 akan didonasikan kepada untuk tujuan ini. Dalam tahun kedua program ini berjalan, mereka telah mengumpulkan sekitar 2,5 juta dollar. Begitupun dengan Michael Kors yang sejak 4 tahun terakhir berkomitmen untuk menghapuskan kelaparan di dunia melalui program End World Hunger bekerja sama dengan World Food Program (WFP).
Beberapa brand lain dari luxury seperti Stella McCartney hingga highstreet seperti H&M memilih fokus pada isu sustainability sebagai bentuk respon terhadap persoalan lingkungan. Pilihan yang tepat mengingat tuduhan bahwa industri fashion menjadi penyebab polusi air kedua terburuk setelah pertambangan minyak.
Meski tidak sedikit yang meragukan niat di balik komitmen tersebut maupun dampak nyatanya terhadap masyarakat (banyak juga yang menganggap aksi ini hanya sebagai polesan imej semata dan sekadar strategi marketing) namun bisa kita lihat bahwa fashion turut mempromosikan isu global ke kelompok masyarakat yang selama ini cenderung mengabaikannya. Cara industri fashion mengemas campaign yang terkadang glamor dan bertabur bintang juga memberi nafas baru dalam aktivitas sosial. Hal ini ini didukung oleh popularitas media sosial seperti Instagram yang turut meningkatkan awareness ke generasi millennial. Dalam situasi geopolitik dunia yang semakin dinamis saat ini, industri fashion tidak lagi menjadi planet mewah dan ekslusif yang jauh dari hiruk pikuk perkembangan politik dan sosial namun malah menciptakan platform baru untuk berkampanye. Tapi tentu saja, in the fashion world, when you want to speak out, you speak out in style.